Jumat, 24 Juni 2011

Waspada Biskuit REGAL !!!



Tahu kah kamu ROTI REGAL  ? pasti tahu dong, ini kan roti favorit kita masih kecil dulu, dan ternyata ada hal kecil yang tidak pernah kita pikirkan dari roti ini yang berefek besar dengan dunia akhirat kita umat ISLAM.

Info ini saya dapatkan ketika saya jalan-jalan di kaskus dan ternyata ada thread yang berguna banget kyk gini. Thread ini di buat oleh agan COTOT.(maaf ya ane copas he..he...)

Baca dari awal sampe akhir ya ...

Ya roti REGAL yang sudah terkenal enak, sudah dari kecil ane mengkonsumsi ini, Tapi sadarkah agan agan kalo roti ini tidak mempunyai sertifikat Halal Nah baru kemarin ane pastikan kalo roti ini tidak ada sertifikat halalnya, konon roti ini belum bisa mendapat label halal karena dari berbagai bahan yang digunakan dalam pembuatan roti, baik dalam roti adonan roti maupun roti kering/biskuit dan krackers, ada beberapa bahan yang perlu dicermati asal-usulnya.

Pertama adalah sumber lemak atau shortening yang digunakan. Bahan tersebut berasal dari lemak atau minyak, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Lemak yang berasal dari hewan tentu saja mengundang kecurigaan, apakah dari hewan yang halal ataukah haram. Untuk industri roti di tanah air kemungkinan besar memang menggunakan shortening dari minyak sawit. Namun demikian, untuk roti-roti tertentu kadang-kadang juga menggunakan shortening hewani, karena bahan tersebut dapat menghasilkan roti dengan rasa yang lebih gurih dan lembut.

Lemak yang berasal dari hewan bisa berupa lemak sapi (tallow), lemak babi (lard) atau lemak susu (cream). Untuk lemak babi sudah cukup jelas statusnya. Sedangkan lemak sapi, meskipun hewannya halal, tetapi jika tidak disembelih menurut aturan Islam maka lemak sapi tersebut juga akan menjadi haram.

Bahan pengembang atau pelembut yang berupa turunan lemak atau asam amino juga perlu dikaji lebih lanjut, apakah bersumber dari bahan halal ataukah haram. Sebab pada kenyataannya bahan-bahan tersebut sampai saat ini masih diimpor dari negara lain. Kebanyakan dari negara-negara non muslim.

Bahan yang juga perlu dicermati dari segi kehalalan adalah kandungan yang ditambahkan ke dalam roti. Bahan-bahan tersebut perlu diteliti, apakah halal ataukah tidak. Keju adalah salah satu bahan yang sering digunakan untuk campuran roti.

Meskipun berasal dari susu, namun proses pemisahan keju dan cairan susu (whey) menggunakan renet. Renet adalah sejenis enzim yang memecah protein, sehingga kejunya akan menggumpal dan terpisah dari cairannya. Rennet ini bisa berasal dari fermentasi (microbial rennet), lambung anak sapi atupun lambung babi.

source : 
http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5847144

Jumat, 10 Juni 2011

Hati-Hati Beli Sepatu Merk Nike



Sumber: http://blog.ephi.web.id

Hati-hati saja jika anda membeli Sepatu merk Nike, ditemukan dugaan tulisan Allah dibagian belakang dan di bagian bawah dari sepatu tersebut. Hati-hati saja…..

Produk-Produk Yahudi/AS Yang Diduga Kuat Mendukung Zionisme


Kekejaman Zionisme



Menuju "One World Government"



klik disini

untuk memutarnya, jangan langsung di klik dua kali, tapi klik kanan pada mouse, kemudian pilih "open with...", kemudian pilihlah program pemutar video/3gp

Susuk Digital-Konspirasi (Video)

klik disini
untuk memutarnya, jangan langsung di klik dua kali, tapi klik kanan pada mouse, kemudian pilih "open with...", kemudian pilihlah program pemutar video/3gp

Kaum Liberal Tolak Kaitkan Bencana Dengan Adzab Allah SWT

Oleh M. Fachry pada Ahad 07 November 2010, 07:46 PM

JAKARTA (Arrahmah.com) - Di saat bencana datang bertubi-tubi menimpa negeri dan umat Islam mulai intropeksi diri atas teguran Ilahi, kaum liberal malah menolak mengaitkan bencana dengan adzab Allah SWT. Menurut mereka seluruh bencana alam yang terjadi hanyalah proses alam saja. Masya Allah, keterlaluan...!

Kaum Liberal Tak Percaya Bencana Adalah Adzab Allah SWT

Dalam diskusi bertajuk "Politisasi Bencana" yang digelar oleh Serikat Jaringan untuk Keberagaman (Sejuk) di Jakarta, Jumat (5/11/2010), Ulil Abshar abdalla, tokoh kaum liberal menolak jika bencana yang terjadi adalah adzab dari Allah SWT. Menurutnya telah terjadi salah penafsiran terhadap kitab suci.

"Ada semacam template di kitab suci tentang bencana. Misalnya, ada cerita saat manusia membangkang kepada Tuhan kemudian Tuhan menghancurkan seluruh muka bumi. Nah, waktu sekarang ada bencana, para tokoh ini langsung mengambil template itu. Menurut saya, jangan dihubung-hubungkan, ini proses alam saja."

"Apa salah Yogyakarta, di sana ada keraton, Muhamadiyah, pesantren juga banyak. Masyarakat Yogya sangat beragama, tetapi dibilang kena azab Tuhan. Ini, kan menyakiti para korban. Mereka sudah tertimpa bencana malah dituduh menerima azab pula."

Tidak jauh berbeda dengan Ulil, politikus PDI-P, Budiman Sudjatmiko, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi itu, berharap agar masyarakat termasuk pejabat melihat suatu bencana dengan rasio. Menurutnya, bencana hanya merupakan proses alam, tidak berhubungan dengan azab Tuhan.

"Ini hanya proses yang dialami bumi saja, seperti manusia yang tumbuh, kena sakit kepala atau flu. Hanya seperti itu saja. Maka jadikan manusia sebagai subyek bencana, bukan obyek yang berdosa kemudian diazabkan," ungkapnya.

Adzab Umum Tidak Hanya Menimpa Orang Dzalim

Tidak aneh jika kaum liberal menolak bencana dikaitkan dengan adzab Allah SWT, itulah kekhasan pola pandang dan fikir mereka tentang kehidupan, yakni sekuler atau berusaha memisahkan antara dunia dan akhirat. Dengan demikian, mereka selalu melepaskan dan meninggalkan ayat-ayat Allah SWT baik Al Qur'an maupun hadits-hadits di dalam berkehidupan dan selalu mengedepankan rasio atau akal sehat semata.

Mereka lupa jika kemaksiatan telah merajalela dan amar ma'ruf nahi munkar tidak lagi dijalankan, maka Allah SWT akan menurunkan siksa atau adzabnya tidak hanya kepada orang-orang yang melakukan kedzoliman saja diantara mereka, akan tetapi secara umum, tidak lagi pilih-pilih.

Allah SWT berfirman:

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu. Dan Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS. Al Anfal (8) : 25)

Gempa Di Masa Nabi SAW & Sahabat

Ustadz Ahmad Syahirul Alim, Lc menulis :

Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, "Tenanglah ... belum datang saatnya bagimu.'' Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, "Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian ... maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!"

Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, "Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!"

Seorang dengan ketajaman mata bashirah seperti Umar bin Khattab bisa, merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.

Umar pun mengingatkan kaum Muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah. Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, "Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, 'Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'.''

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya."

"Allah berfirman, 'Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan tobat ataupun zakat). Lalu, dia mengingat nama Tuhannya, lalu ia sembahyang." (QS Al-A'laa [87]:14-15). Lalu katakanlah apa yang diucapkan Adam AS (saat terusir dari surga), 'Ya Rabb kami, sesungguhnya kami menzalimi diri kami dan jika Engkau tak jua ampuni dan menyayangi kami, niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi."

"Dan katakan (pula) apa yang dikatakan Nuh AS, 'Jika Engkau tak mengampuniku dan merahmatiku, aku sungguh orang yang merugi'. Dan katakanlah doa Yunus AS, 'La ilaha illa anta, Subhanaka, Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim'."

Jika saja kedua Umar ada bersama kita, mereka tentu akan marah dan menegur dengan keras, karena rentetan "teguran" Allah itu tidak kita hiraukan bahkan cenderung diabaikan. Maka, sebelum Allah menegur kita lebih keras, inilah saatnya kita menjawab teguran-Nya. Labbaika Ya Allah, kami kembali kepada-Mu.

Jadi, masihkah menolak untuk tobat dan kembali kepangkuan syariat Islam?

Wallahu'alam bis showab!

(M Fachry/arrahmah.com)

Raih amal shalih, sebarkan informasi ini...


Sarankan pengunjung lain untuk membaca tulisan ini juga.

Kamis, 09 Juni 2011

Densus 88 Hina Islam! Latihan Anti Teror, Teriakkan Takbir




Surabaya (voa-islam.com) - Islam benar-benar babak belur dipermainkan Densus 88 Polda Jatim, dalam simulasi penanganan bom di kereta komuter Stasiun Wonokromo, Kamis (24/3), menggunakan simbol ISLAM!!! Dalam latihan antiteroris, Densus 88 benar-benar tak beradab dan tidak menghargai perasaan umat Islam sebagai pemilik suara mayoritas di negeri terbesar ke empat didunia, dan negeri muslim terbesar di dunia.


Kecaman datang akibat ulah Densus 88 Polda Jatim yang menggelar simulasi penanganan bom di kereta komuter dari Stasiun Wonokromo ke Stasiun Gubeng hari Kamis (24/3) kemarin.


Apa pasal? apalagi kalau bukan pengunaan label pada kotak bom bertuliskan "Jihad Fisabilillah Demi Kebenaran" dan juga menggunakan teriakan takbir dari orang yang digambarkan sebagai teroris yang digunakan Densus 88 Anti Teror dalam simulasi penanganan teroris ini dituding telah melecehkan umat Islam.


"Secara tidak langsung, polisi Jawa Timur telah sengaja dan terus terang menganggap bahwa seluruh umat Islam adalah teroris," kecam Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF) Pusat, Mustofa B Nahrawardaya.

Tudingan itu disampaikan Tim Pembela Muslim (TPM) dan Forum Pembela Islam (FPI).

"Presiden sudah saatnya menegur keras terhadap Polda Jatim maupun lembaga yang terlibat dalam simulasi itu. Jika tidak, Presiden bisa dianggap terlibat langsung atau pun tidak langsung terhadap penggunaan simbol Islam yang dipakai dalam simulasi," jelasnya.

Mustofa pun mengingatkan agar polisi tidak usah menunggu reaksi besar umat Islam, mengingat penyalahgunaan simbol tersebut jelas menyalahi etika kerukunan beragama di Indonesia. Aparat yang digaji oleh masyarakat yang memang mayoritas Islam.


Jika tidak ada permintaan maaf, sama saja polisi mengajak umat Islam untuk berperang dengan warga sendiri. Ini tidak akan mendukung upaya pemerintah yang konon akan memerangi terorisme, karena dengan model seperti polisi jawa Timur itu, justru akan memunculkan teroris model baru.

Mengapa Islam jadi korban lagi? Selayaknya Umat Islam patut menuntut permintaan maaf dari Densus 88 segera! (detik/voa-islam.com)

Hukuman Cambuk Tidak Melanggar HAM (Tanggapan terhadap Amnesty International)

oleh Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA (eramuslim.com)

Penerapan syariat Islam di Aceh kembali digugat dan “diserang”. Kali ini, gugatan dan “serangan” tersebut datang dari Direktur Asia Pasifik Amnesty Internasional (AI), Sam zarifi, yang mendesak pemerintah Indonesia untuk menghentikan penggunaan cambuk sebagai bentuk hukuman dan mencabut peraturan yang menerapkannya di Provinsi Aceh, karena dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, melalui siaran persnya yang diterima Harian Aceh, Minggu (22/5). AI juga menyerukan kepada pemerintah pusat Indonesia untuk mengkaji semua hukum dan peraturan lokal untuk menjamin keselarasan mereka dengan hukum dan standar HAM internasional, juga dengan ketentuan ketentuan-ketentuan HAM dalam undang-undang domestik (Harian Aceh, 23/5/2011)

Sejak Aceh memproklamirkan sebagai “negeri syariat” pada tahun 2002, berbagai rintangan dan tantangan terus menghadang. Berbagai “serangan” dan gugatan dialamatkan kepada penerapan syariat Islam di Aceh, baik datangnya dari pihak luar (non muslim) maupun dari pihak dalam (muslim sekuler). “Serangan” dan gugatan yang bertubi-tubi tersebut terus bermunculan sampai hari ini, seakan tak habis-habisnya. Dengan dalih HAM, para penentang syariat Allah berteriak lantang menentang penerapan syariat Islam di Aceh. Tujuannya jelas, mendiskriditkan syariat Islam dan tidak rela syariat Islam diterapkan di Aceh.

Berkaitan dengan hal ini, al-Quran telah mengingatkan kita terhadap pihak-pihak yang tidak rela dan senang dengan syariat Islam untuk selama-lamanya (QS. 2 : 120). Perasaan tidak suka terhadap syariat Islam juga telah merasuk ke dalam sanubari orang Islam yang sekuler dan liberal, yang notabenenya sebagai murid dan pengikut setia para misionaris dan orientalis.

Untuk menepis berbagai tuduhan negatif dan syubhat terhadap syariat Islam yang mulia ini, maka menurut penulis, kita perlu menjelaskan maksud dan tujuan syariat Islam secara utuh, konfrehensif dan objektif. Agar syariat Islam tidak pandang negatif dan disalah dipahami.

Maksud Dan Tujuan Syariat Islam

Islam merupakan agama yang sempurna dan penutup agama samawi. Hanya Islam satu-satunya yang diakui dan diridha Allah Swt untuk umat manusia (QS. 3: 19 dan QS. 5 : 3). Syariat Islam datang sebagai penyempurna sekaligus penghapus syariat Nabi-Nabi sebelumnya yang hanya bersifat temporer dan teritorial (QS. 5 : 48). Sebagai agama yang terakhir dan sempurna, Islam membawa misi perdamaian dan rahmatan lil’alamin (QS. 21 : 107 dan QS. 10 : 57)

Secara umum, maksud dan tujuan diturunkan syariat Islam adalah untuk mendatangkan kemaslahatan dan sekaligus menolak kemudharatan dalam kehidupan umat manusia. Konsep ini dikenal dengan sebutan maqashid syar’iah. Maqashid Syaria’h berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yaang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.

Dalam kitabnya al-Mustashfa, Imam al-Ghazali menjelaskan konsep maqashid syariah. Menurutnya, tujuan syara’ yang berhubungan dengan makhluk ada lima, yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Maka, setiap hal yang mengandung upaya menjaga lima perkara pokok tersebut itu adalah maslahat. Sebaliknya, setiap hal yang tidak mengandung lima perkara pokok tersebut adalah mafsadah, dan menolaknya termasuk maslahat.

Menurut Imam Abu Zahrah, maslahat Islamiah yang diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu memelihara agama, jiwa, harta, akal dan keturunan. Ini disebabkan dunia, tempat manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar kehidupan yang lima itu.Tanpa terpeliharanya hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna. Oleh karena itu, kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan terhadap lima hal tadi. Agama, misalnya, merupakan keharusan bagi manusia. Dengan nilai-nilai kemanusiaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia menjadi lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab beragama adalah salah satu ciri khas manusia. Dalam memeluk suatu agama, manusia harus memperoleh rasa aman dan damai, tanpa ada intimidasi. Islam dengan peraturan-peraturan hukumnya melindungi kebebasan beragama. (Ushul Fiqh, hal. 320)

Maka jelaslah bahwa dalam konsep maqashid syariah ada lima kebutuhan kehidupan primer manusia yang mesti ada (ad-dharuriyyat al-khams) atau kini populer dengan sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) yang dilindungi oleh syariat yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Syariat diturunkan untuk memelihara kelima HAM tersebut. Pelanggaran terhadap salah satu daripadanya dianggap sebagai suatu kriminal (jarimah).

Untuk menjaga kemaslahatan adh-dharuriyat al-khams atau HAM, Islam mensyariatkan sanksi (uqubat) yang cukup tegas, yaitu hukuman hudud, qishash dan ta’zi,r demi menciptakan kemaslahatan publik dan menolak kemudharatan. Hukuman murtad (had ar-riddah) yaitu dibunuh, bertujuan untuk menjaga kemaslahatan agama, agar orang tidak mempermainkan agama dengan seenaknya. Hukuman minum minuman keras (had al-khamr) yaitu cambuk delapan puluh kali atau empat puluh kali bertujuan untuk menjaga akal agar tetap baik dan sehat. Hukuman zina (had az-zina) yaitu seratus kali cambuk bagi yang belum kawin (ghair muhshan) dan rajam bagi yang sudah kawin (muhshan) bertujuan untuk menjaga nasab dan menghindari dari penyakit yang berbahaya. Hukuman tuduhan berzina (had al-qazf) yaitu dicambuk delapan puluh kali bertujuan untuk menjaga kehormatan. Hukuman pencurian (had as-sariqah) yaitu potong tangan bertujuan untuk menjaga harta. Dan hukuman pembunuhan dan penganiayaan yaitu qishah (dibunuh atau dianiaya pula) bertujuan untuk menjaga jiwa manusia.

Oleh karena itu, dalam Islam dikenal beberapa jenis hukuman seperti potong tangan, cambuk, rajam, qishah dan bunuh. Hukuman ini diberikan sesuai dengan jenis dan tingkatan kriminalnya. Tujuan semua jenis hukuman ini adalah untuk menjaga kehormatan seseorang, menjaga masyarakat dari kekacauaan dan prilaku buruk atau hina, mensucikan jiwa yang telah ternoda dengan dosa, dan memelihara kemaslahatan asasi manusia yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Disamping itu tujuan utamanya yaitu untuk memberi efek jera dan pembelajaran sehingga dapat mencegah perbuatan kriminal atau maksiat. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam bertujuan untuk menjaga dan melindungi HAM.

Meskipun secara kasat mata hukuman Islam terkesan kejam dan keras, namun sebenarnya syariat Islam dalam menentukan hukuman lebih banyak bertujuan sebagai sarana untuk mencapai kemaslahatan publik dan menjaganya. Hukuman yang ditetapkan untuk kriminal itu lebih bersifat preventif, sehingga orang akan menahan diri dari melakukan hal itu. Hukuman tidak akan efektif bila hanya sebatas melarang, tanpa ada sanksi yang tegas. Dengan kata lain, tanpa sanksi yang tegas dan menjerakan, suatu aturan/hukum tidak punya konsekuensi apa-apa. Sebaliknya, bila disertai dengan hukuman yang tegas dan keras , maka segala aturan baik bersifat perintah atau larangan itu akan diperhitungkan dan memiliki arti. Inilah tabiat suatu hukuman.

Tanggapan terhadap Amnesty International (AI)

Menyikapi pernyataaan dan desakan AI tersebut, maka penulis perlu menyampaikan tanggapan sebagai berikut;

Pertama, tuduhan AI tersebut telah mendiskriditkan Islam, bahkan melanggar HAM umat Islam. Umat Islam dimana pun berada –termasuk di Aceh- berhak dan bebas mengamalkan agamanya tanpa larangan dan intimidasi. Syariat Islam di Aceh hanya diperuntukkan bagi umat Islam yang berada di wilayah hukum Aceh, bukan bagi non Islam atau umat Islam di luar Aceh.

Kedua, salah satu point dari Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia bahwa setiap manusia dijamin untuk bebas beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya. Hal ini juga dijamin oleh hukum di Indonesia yaitu UUD 1945 tentang kebebasan beragama dan melaksanakan keyakinan agamanya, sehingga pelaksanaan Syariat Islam di Aceh (secara legal formal telah diamanahkan oleh Undang-Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia), dalam baik dalam dimensi privat dan publik merupakan pengejawantahan dari kebebasan beragama. Oleh karena itu tuduhan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan meminta hukuman cambuk di Aceh dicabut oleh Direktur Asia Pasifik Amnesty International, Sam Zarifi, menjadi tidak beralasan.

Ketiga, AI menuduh hukuman cambuk bertentangan dengan HAM. Namun, yang menjadi persoalan, HAM mana yang dimaksud AI? Karena, konsep HAM dalam paradigma Islam berbeda dengan konsep HAM dalam paradigma Barat yang cederung mengasihani si pelaku maksiat (kriminal), tanpa mengasihani korbannya. Dimana prinsip keadilan dalam HAM Barat? Selain itu, menurut HAM made in Barat hubungan seks bebas dibolehkan asal suka-sama suka. Begitu pula mabuk-mabukkan asal tidak menggangu orang lain. Dimana nilai moral dalam HAM barat? Apa bedanya dengan binatang? Kalau HAM model barat ini yang dimaksud, maka AI telah salah sasaran dalam menuduh. Karena, orang Aceh itu muslim dan Aceh merupakan daerah yang resmi menerapkan syariat Islam. HAM model barat sangat bertentangan dengan Islam. Maka, tidak boleh dipakai oleh umat Islam dimanapun, termasuk di Aceh.

Keempat, AI telah mengintervensi urusan agama seseorang dan aturan sebuah negara, maka AI telah melanggar HAM pula. Padahal, Islam tidak pernah mencampuri urusan agama lainnya. Bahkan Islam memberi kebebasan bagi agama lain untuk beragama dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya (QS. 109 : 6 dan QS. 2 : 256). Ini jelas melanggar HAM umat Islam dan berbagai aturan yang berlaku di negara RI seperti UUD 1945, UU no 44 tahun 1999, UU no 11 tahun 2006, dan sebagainya.

Kelima, salah satu alasan yang dikemukakan oleh Sam Zarifi bahwa cambukan bisa mengakibatkan cedera jangka panjang atau permanen terlalu mengada-ngada dan yang bersangkutan tidak memperoleh informasi yang utuh bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan hukum cambuk di Aceh. Kalau pun hukuman tersebut menimbulkan rasa sakit dan malu, itu merupakan bagian dari efek jera yang ingin dicapai dari suatu proses penerapan hukuman bagi pelaku kejahatan. Sehingga, menjadi pelajaran bagi pelaku dan orang lain.

Keenam, konsekwensi ketika sudah memilih Islam sebagai agama, maka suka tidak suka aturan hukum-hukum agama tersebut harus diberlakukan kepada yang bersangkutan. Dan ini sangat selaras dengan kebebasan beragama. Baru dikatakan melanggar HAM kalau kepada pemeluk agama selain Islam dipaksakan untuk menggunakan hukum Islam. Tidak ada aturan yang akan berjalan kalau tidak disertai dengan sanksi yang tegas.

Dengan penjelasan diatas maka jelaslah bahwa hukuman dalam Islam baik berupa potong tangan, rajam, bunuh maupun cambuk tidaklah melanggar hak asasi manusia, justru sebaliknya hukuman tersebut bertujuan untuk melindungi HAM dan memberikan keadilan yang sejati, serta menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Pemerintah, baik di Aceh maupun di Pusat, diharapkan komit terhadap amanah Undang-Undang yang melegalkan secara formal penerapan syariat Islam di Aceh dan tidak terpengaruh dengan desakan AI dan pihak lainnya. Kepada AI diminta untuk menghormati umat Islam dan hukum yang berlaku di Indonesia.

Penulis adalah Dosen fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry, Kandidat Doktor Fiqh & Ushul Fiqh, International Islamic University Malayasia (IIUM), Ketua Biro Dakwah Dewan Dakwah Aceh.